Minggu, 26 April 2020

Mengurangi Peringatan Hari Kartini yang Sebatas Seremoni

Toming Sek
Gambar Peringatan Kari Kartini

Mengurangi Peringatan Hari Kartini yang Sebatas Seremoni


Apa yang ada dalam pikiranmu saat Hari Kartini? Pasti ingat kebaya, sanggul, ibu Kartini yang sebenarnya lebih tepat dipanggil Mbak Kartini karena meninggal pada usia 25 tahun, atau karnaval? Pasti juga ada yang mengingat acara kartinian di sekolah yang berarti tidak ada pelajaran di sekolah. Juga tentang televisi dan media yang pasti akan banyak mengangkat tema tentang Kartini dan perempuan-perempuan Indonesia yang disebut ‘hebat’. Satu lagi, pasti infotainment juga mengangkat tema itu, tentu dengan tampilan yang (maaf) lebai.

Itulah, selama ini lebih banyak pihak yang memaknai dan memperingati Hari Kartini sebatas acara seremonial. Memakai kebaya seperti baju yang dipakai oleh RA Kartini di potret hitam putih yang tersebar di dunia maya dan di ruang-ruang kelas bersama deretan pahlawan lain. Juga memakai sanggul, sebagai perwujudan perempuan jawa.


Acara-acara itu sebatas pada seremonial. Seharusnya, momentum Hari Kartini dimaknai sebagai upaya mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia melalui pendidikan. Jika ingin memaknai perjuangan Kartini, seharusnya melihat secara komprehensif. RA Kartini adalah perempuan Jawa yang hidup di masa kolonial Belanda. Dia ingin terus bersekolah tetapi karena tradisi, maka keinginan tersebut akhirnya pupus. Tetapi RA Kartini tidak lantas menolak budaya Jawa, dia tetap patuh pada tradisi dan orang tua (Bapaknya yang melarang untuk sekolah). Tetapi kepatuhannya juga tidak menghentikan mimpinya untuk tetap belajar dan berkomunikasi dengan dunia luar. Bahkan, ketika dia punya kesempatan (diizinkan oleh suaminya setelah menikah) untuk membuka pengajaran untuk perempuan-perempuan lain.

Dari penjelasan singkat di atas yang perlu dicatat dan dipahami adalah, RA Kartini tetap menghormati tradisi dan adat Jawa sebagai budaya leluhurnya. Dia tidak lantas menghantam dan melawan aturan budaya dan adat istiadat. Lalu, bandingkan dengan sekarang. Memang tidak semuanya yang mengaku pejuang emansipasi, masihkah tetap menjalankan dan menghormati tradisi?

Maka dari itu, yang seharusnya diambil semangatnya adalah semangat pendidikan, semangat terhadap pelaksanaan tugas dan kodrat sebagai perempuan. Bukan lantas kebaya dan sanggul. Kebetulan saja, Kartini adalah orang Jawa yang berkebaya dan bersanggul. Kalau orang yang bernasib seperti RA Kartini adalah orang Minangkabau tentu dia akan memakai baju adat Minang. Jika dia adalah orang Madura, dia pasti memakai kebaya dengan warna cerah diikat degan pusar kelihatan, rambut diikat tanpa sanggul, dan kain jarit (kain batik) dipakai agak cingkrang di bawah lutut.

Yuk meresapi peringatan  Hari Kartini tidak lagi sebatas seremoni. Harus bisa meresapi dalam hati, untuk bisa dilaksanakan dan menjadi jati diri. Lebih khusus kepada seluruh wanita Indonesia jadilah Kartini dan Perempuan Indonesia seutuhnya. Perempuan Aceh tak perlu berkebaya dan bersanggul untuk meneladani Kartini, begitu juga dengan perempuan dari Papua.

Lihat juga cara menggambar foto wajah RA Kartini


Selamat Hari Kartini, salam !