Selasa, 14 Mei 2019

Tradisi Daerah Jawa Tedak Siten ( mudun lemah )

Toming Sek
Tedhak Siten atau orang jawa menyebut tradisi  Tradisi Daerah Jawa Tedak Siten  Tradisi Daerah Jawa Tedak Siten ( mudun lemah )

TRADISI Tedhak Siten atau orang jawa menyebut tradisi  ( mudun lemah ) turun tanah. Tedak siten (dari kata Jawa= tedak = cedhak ( men-dekat ). Siten = siti = lemah (jawa = tanah ) .Ketika anak menginjak 8 bulan ( pitung lapan ), tradisi ini tidak hanya di Jawa, didaerah lain di Indonesia juga ada tradisi seperti ini. tradisi turun tanah menjadi symbol bagi kalangan masyarakat jawa mengisyratakan dalam usia tersebut seorang anak sudah saatnya untuk kembali ketanah. Menginjakan kakinya ke tanah sebagai upaya pendekatan kepada dirinya sendiri yang berunsurkan tanah. Dan sekaligus merupakan usia anak untuk melatih dirinya untuk berjalan di tanah yang pertama kali. Agar kita memahami tentang rangkaian tradisi ini.
   Rangkaian tradsisi ini memiliki keunikan dan makna tersendiri bagi masyarakat jawa. Bahkan ada pesan moral yang ingin disampaikan, salah satunya yakni sang bayi disuruh memilih beberapa pilihan dari buku, kitab, sisir, pulpen dll. Dan pilihan pertama itulah yang akan menentukan pilihan terakhir yang memiliki urutan atau tahapan masing-masing.

Beberapa perlengkapan prosesi disebut Uba Rampen

Uba rampen yang diperlukan dalam upacara Tedhak Siten ini yaitu, 
Banyu gege (air yang disimpan dlm tempayan/bokor selama satu malam & pagi harinya dihangatkan dengan sinar matahari), ayam panggang, pisang raja (melambangkan harapan agar si anak di masa depan bisa hidup sejahtera dan mulia, 
 Juadah (jadah) warna warni (7 warna: putih, merah, hijau, kuning, biru, cokelat, merah muda/ungu), tangga yang terbuat dari tebu ireng (tebu arjuna), kurungan (biasanya berbentuk seperti kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda (misalnya: alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk dan jenis) sebagai lambang/tanda untuk masa depan anak,
Benang lawe, dan  udhek-udhek (yang terdiri berbagai jenis biji-bijian, uang logam, & beras kuning).


Prosesinya :
pertama, memandikan bayi. Bahwa bayi dalam keadaan suci seperti pertma kali ia terlahir dalam keadaan fitrah dan kelak ketika meninggalkan dunia ini sang anak juga diharapkan kembali kedalam fitrahnya.

Kedua, menginjak bubur atau orang jawa menyebut bubur tersebut dengan nama bubur chetil yakni bubur merah manis dengan bulatan dari tepung beras (bulatan itulah yang disebut chetil). Memiliki makna bahwa bayi akan menjadi kuat dan kokoh untuk menapaki kehidupannya

Ketiga, menyebar uang orang jawa menyebutnya udhek-udhek duit yang berisi beras kuning dan bunga artinya menyebar yakni melemparkannya yang disana banyak orang yang berkumpul untuk mengambil uangnya sebagai hak miliknya. Menunjukan bahwa sang anak diharapkan kelak menjadi orang yang dermawan dan dikaruniai banyak rizki dan saling berbagi kepada siapa saja yang membutuhkan.

Keempat, memilih barang, ada beberapa pilihan disinilah kelak anak akan menapaki kehidupannya dalam memilih profesi dan berantai dalam memilihnya. 

Tradisi ini digelar sebagai bentuk harapan dan doa agar anak mampu menjadi orang yang berguana bagi agama, Negara dan masyarakat. Sebagai sebuah symbol atas karunia yang diberikan kepada keluarga. Didalamnya mengisyaratkan berbagai macam benda seperti berdoa, makanan, uang, barang, bunga dll. Ini menunjukan hubungan tiga dimensi antara manusia, tuhan dan alam. Dan kesemuanya berjalan dengan harmonis.


Oleh : Taryono Pelabuhan Canggu